Adab Politik “Kulo Nuwun”

Lukas Benevides

Lukas Benevides

Istilah kulo nuwun biasa dipakai masyarakat Jawa untuk menyampaikan permohonan izin atau permisi. Padanan lainnya, meskipun tidak sama, adalah nuwun sewu yang juga bermakna memohon izin kepada orang lain jika hendak melewati lintasan tertentu.

Beberapa hari terakhir politik kulo nuwun kembali diungkit. Politisi Sandiaga Uno yang digosipkan akan menjadi kader dan capres usungan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dicerca massa lantaran dipandang tidak memiliki adab kulo nuwun. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ini dianggap tidak berbalas budi kepada Partai Gerindra, melanggar sopan santun karena ingin menjadi pesaing Prabowo pada kontestasi Pilpres 2024.

Andreas Rosiade dalam “Catatan Demokrasi: Diusung NasDem, Anies Tidak Pamit ke Gerindra?” TV One, juga melontarkan kritik serupa kepada Anies Baswedan yang tidak menyampaikan kulo nuwun kepada Gerindra dan Prabowo sebelum menjawab ‘iya’ terhadap peminangan Partai Nasdem (07/02/2023), “kita sudah usung, sudah dukung, … kulo nuwun, sama sekali nggak”.

Mengapa kita perlu adab kulo nuwun dalam berpolitik? Apakah penting tata krama kulo nuwun dalam sayembara realisme politik?

 

Kode etik

Walaupun merupakan ungkapan khas bahasa Jawa, kulo nuwun memiliki pemaknaan dan prakteknya dalam banyak suku masyarakat Indonesia. Jadi, kulo nuwun sebenarnya merupakan luaran kearifan lokal yang masih mengalir dalam nadi masyarakat Indonesia hingga hari ini. Maka, dapat dipahami alasan masyarakat, apalagi politisi, begitu sensitif dengan adab ini.

Meskipun penting, kulo nuwun hanya menjadi elemen kode etik atau tata krama. Kode etik merupakan turunan atau tarikan jauh dari etika politik berupa imperatif praktis yang dihidupi oleh masyarakat secara berulang hingga menjadi normatif.

Kode etik bersifat partikular dan periferal sehingga rentan dimanipulasi. Sesuatu yang sopan bagi kelompok masyarakat tertentu, belum tentu sopan bagi masyarakat lain. Bagi orang Eropa, berbicara dengan mata tertuju lurus pada mata lawan bicara adalah tanda kesopanan. Namun bagi orang Indonesia, berbicara dengan menatap lawan bicara justru tidak sopan.

Di dalam transaksi politik, memberi uang dengan barter kursi kekuasaan dapat dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Justru tanpa uang, hanya mengandalkan kemampuan, kadangkala dipandang tidak beradab dan sombong. Karena itu, melanggar atau tidaknya tata krama berpolitik, tergantung Anda mengadopsi adab masyarakat mana.

Walaupun demikian, kode etik tetap memainkan peran determinatif di dalam hidup bersama dan berpolitik. Tanpa kode etik, kita kehilangan rambu-rambu lalu lintas normatif hidup bersama di dalam ruang lingkup terbatas. Pengorbanan dan penghargaan kehilangan makna.

Ada politisi yang memenangkan kursi gubernur dengan darah dan keringat partai tertentu, tetapi kemudian melabuhkan hati pada partai lain untuk mendapat karpet merah menuju Pilpres 2024. Cinta bertepuk sebelah tangan dalam politik lebih kejam daripada dalam layar romansa orang muda. Sakitnya tak tertanggung ketika ditinggal pas lagi sayang-sayangnya.

 

Etika politik

Adab kulo nuwu tidak lebih dari kode etik bila alasan rasionalnya sekadar bentuk permohonan izin, penghormatan kelembagaan atau balas budi. Permohonan izin dapat diinstrumentalisasi untuk menarik empati, ‘menyandera’ lawan, dan memenangkan pertarungan. Kulo nuwun seharusnya lebih dari memohon ijin dan dapat diekstrapolasi menjadi unsur penting dari etika politik.

Etika politik adalah refleksi etis mengenai bagaimana kita seharusnya berada dan bertindak sebagai warga negara (Simmons, Political Philosophy, 2008). Paul Ricoeur mendefinisikan etika politik sebagai refleksi kritis yang “mengarahkan pada hidup baik bersama dan untuk orang lain dalam institusi-institusi yang adil” (Oneself as Another, 1992).

Ada tiga unsur penting di dalam etika politik menurut Ricoeur yang tidak terpisahkan, yakni hidup baik (kesejahteraan umum), persahabatan dan keadilan. Persahabatan adalah kebajikan yang memampukan kehidupan bersama di dalam skala medium seperti komunitas. Sementara itu, keadilan adalah keutamaan yang memungkinkan kehidupan bersama berskala besar direkatkan secara institusional dan fair. 

Adapun hidup baik semua warga negara adalah tujuan ultim hidup yang diperjuangkan melalui tujuan, sarana, dan aksi politik yang berkeutamaan. Hanya dengan tekad dan penghormatan terhadap nilai persahabatan dan menjunjung tinggi keadilan, seorang politisi dapat membangun kehidupan bersama yang mensejahterakan semua warganya, betapapun luas teritori dan jumlahnya.

Kulo nuwun adalah bentuk undangan untuk menaruh hormat pada nilai persahabatan dan keadilan. Jika seorang politisi dimintai kesedian, baik eksplisit maupun implisit, untuk menghaturkan kulo nuwun, ia diwajibkan secara moral untuk menghargai persahabatan dan keadilan. Tanpa kebajikan komunal dan institusional ini, entah kemana sebuah negara-bangsa diarahkan.

Maka, kulo nuwun jangan hanya dipandang sebagai balas budi atau menghormati senior, apalagi melapangkan seorang atasan untuk merengkuh kekuasaan tanpa kompetensi etis, leadership, dan manajerialnya diuji. Kulo nuwun harus dimaknai sebagai ikhtiar bersama seorang negarawan untuk membangun negara-bangsa ini dengan guyub dan adil.

WhatsApp
Facebook
Twitter