Isu mekanisme pemilu dengan sistem proporsional tertutup kembali mencuat. Ada parpol yang mengungkit kembali pola ini. Mereka mengajukan uji materi terhadap UU No. 7 tahun 2017 atau UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kelompok ini meminta MK membatalkan pasal 168 ayat 2 UU Pemilu yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945 (cnnindonesia.com, 29/12/2022).
Sementara itu, kelompok di sisi berseberangan memohon kepada MK untuk tetap menggelar pemilu dengan sistem terbuka karena selaras dengan UU Pemilu Pasal 168 ayat 2 (nasional.tempo.co, 03/01/2023).
Perseteruan ini tentu saja menarik, tetapi sebatas bahan cerita kalangan politisi, elit, dan akademisi. Masyarakat kecil tidak terusik, apalagi ikut nimbrung mengusulkan solusi. Gosip politik tentang sistem proporsional tidak menetes hingga ke akar rumput. Maka mari kita upayakan penjelasan yang sederhana untuk mendorong partisipasi aktif seluruh lapisan sosial.
Sistem proporsional
Pemilu memainkan peran penting sebagai salah satu kanal operasionalisasi substansi demokrasi. Untuk itu, pemilu harus dikemas secara baik melalui mekanisme sistem elektoral.
Ada tiga jenis mekanisme elektoral yang umum dipakai: sistem pluralitas/mayoritas, sistem proporsional, dan sistem campuran. Di antara ketiga, sistem representasi proporsional merupakan skema yang paling umum adopsi negara demokrasi.
Alasan mendasar sistem representasi proporsional lebih memikat adalah “mengurangi disparitas antara porsi perolehan suara nasional sebuah partai dan porsinya dalam kursi parlementer” (Reynolds, et.al., 2005).
Sistem proporsional dipakai untuk mengkonversi proporsi suara parpol menjadi proporsi kursi di lembaga legislatif. Ada dua tipe utama sistem ini: daftar representasi proporsional dan Single Transferable Vote. Representasi proporsional merupakan sistem andalan yang paling lazim dipakai. Ada tiga varian list tertutup, terbuka, dan bebas.
Indonesia pernah memakai ketiganya. Awalnya kita menggunakan sistem proporsional tertutup, yakni urutan kandidat yang dipilih dalam daftar ditetapkan oleh parpol yang bersangkutan. Pemilih tidak bisa mengungkapkan preferensi bagi kandidat tertentu.
Pola tertutup ini diganti dengan skema terbuka terbatas (varian bebas) pada pemilu 2004, “nama-nama calon yang akan dipilih tidak menjadi bagian (tertera) dalam surat suara yang akan dicoblos oleh para pemilih melainkan hanya ditempel di luar bilik suara.” (www.hukumonline.com, 7/02/2003).
Tiga pemilu berikutnya menggunakan pola terbuka murni sehingga pemilih dapat mencoblos jagoannya sendiri di dalam pertarungan memperebutkan kursi legislatif.
Proporsional terbuka vs proporsional tertutup
Untuk memilih di antara kedua sistem, kita perlu mengkalkulasi untung-ruginya. Sistem proporsional tertutup dan terbuka sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan (www.republika.co.id, 23/07/2016; www.hukumonline.com, 08/06, 2020; nasional.kompas.com, 23/03/2022).
Sistem proporsional tertutup mempunyai beberapa kelebihan. Pertama, sistem ini meminimalisir politik uang karena biaya pemilu yang lebih murah jika dibandingkan dengan sistem proporsional terbuka.
Kedua, pola memperkuat posisi parpol dan mencegah instrumentalisasi parpol. Calon tidak menggunakan parpol hanya sebagai kendaraan politik karena parpol yang menentukan kursi calon legislatifnya
Ketiga, metode ini memberikan parpol ruang untuk menentukan calonnya sendiri karena parpol lebih mengetahui kualitas calonnya. Keempat, mekanisme ini lebih sederhana dan hemat. Sistem tertutup dianggap lebih efisien dan sederhana bagi pemilih dan administrator pemilu (Itsia Kurnianingrum, 2020).
Meskipun demikian, sistem proporsional tertutup bukan tanpa cacat. Pertama, mekanisme tertutup melecehkan kedaulatan rakyat karena masyarakat atau pemilih tidak menentukan sendiri wakil legislatifnya.
Kedua, dari segi derajat keterwakilan demokratis, sistem tertutup minus karena rakyat tidak bisa memilih langsung wakil-wakilnya yang akan bertengger di ruang legislatif. Pilihan parpol belum tentu pilihan pemilih.
Ketiga, sistem proporsional tertutup mudah terjerat elitisme: yang dipilih parpol cenderung kader-kader yang sudah lama bekerja dalam struktur parpol dan memiliki kedekatan dengan pimpinan parpol.
Keempat, pola ini juga tidak dapat menghindari jebakan oligarki: yang menentukan nasib parpol adalah kelompok kecil, pimpinan, bukan masyarakat luas. Konsekuensinya, caleg terpilih akan mematuhi pimpinannya, bukan masyarakat.
Adapun kelebihan sistem proporsional terbuka. Pertama, pemilih memiliki kedaulatan untuk memilih dan menentukan kemenangan jagoan politiknya. Kedua, sistem terbuka lebih transparan: pemilih mengetahui siapa calon legislatifnya sehingga dapat meningkatkan partisipasi politik pemilih.
Ketiga, pola terbuka merepresentasi demokrasi langsung: pemilih menentukan, tidak diwakilkan pada parpol. Dampaknya ialah menjaga relasi pertanggungjawaban pemilih dengan calon terpilih atau wakil rakyat, dan menekan oligarki parpol.
Keempat, representasi terbuka memungkinkan hadirnya kader yang tumbuh dan besar dari bawah dan menang karena adanya dukungan massa. Dan kelima, prosedur terbuka memungkinkan terbangunnya kedekatan antara pemilih dengan yang dipilih. Kedekatan antarpemilih juga turut dibentuk.
Sistem proporsional terbuka juga tidak luput dari kekurangan. Pertama, sistem ini menciptakan kondisi saling memangsa antar kader dalam satu parpol. Kohesi horizontal antar kader dan kohesi vertikal antar calon dan parpol terancam renggang.
Kedua, potensi departaisasi dan personalisasi politik karena calon merasa semakin bebas dan otonom memobilisasi pencalonannya menggunakan instrumen politik pribadi. Calon memanfaatkan kekuatan di luar parpol dan memiliki daya tawar dengan parpol sendiri.
Ketiga, kemungkinan bertentangan dengan Konstitusi: Peserta pemilu berdasarkan Pasal 22E UUD ayat (3) 1945 adalah parpol. Namun, yang bersaing dalam pemilu bukanlah parpol, melainkan calon anggota legislatif dari berbagai parpol.
Keempat, kerentanan visi-misi politik calon tidak selaras dengan parpol. Kelima, sistem terbuka mempertajam polarisasi di dalam masyarakat karena calon berjuang habis-habisan untuk memenangkan kompetisi dengan berbagai cara, termasuk politik uang.
Keenam, di dalam implementasi lapangan, sistem proporsional terbuka menimbulkan keruwetan bagi pemilih dan administrator pemilu (Itsia Kurnianingrum, 2020).