Kabar angin revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan (PP 109/2012) sudah lama berhembus. Beberapa bulan terakhir desas-desus ini semakin kencang. Pergerakan kelompok anti-tembakau bukan ecek-ecek.
Seolah kenaikan tarif cukai tembakau belum membuat gerah (ekonomi.bisnis.com, 28/11/2022), pemerintah kembali mengocok emosi masyarakat dengan memasukan agenda revisi PP 109/2012 ke dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023 (Keppres 25/2022).
Sayangnya, kelompok anti-tembakau tidak peduli berapa banyak suara-suara dissenting opinion (money.kompas.com, 14/12/2022). Tidak hanya menggerakan peneliti-peneliti, mendiseminasi lewat berbagai kanal media, Naskah Akademik dan draft revisi juga sudah disusun lama.
Rezim kesehatan selalu merasa paling benar lantaran mendaku memiliki basis data tak terbantahkan. Padahal, Naskah Akademik digodok dengan data bias referensi, survei, bukan meta-analisis, dan sarat kepentingan politis.
Bisa dipahami, mengapa kelompok kesehatan begitu menguasai diskursus pertembakauan di Indonesia. Ada sejarah panjangnya. Mari kita menyusun fragmen-fragmen alur ceritanya.
Sejarah panjang pertembakauan
Peneliti Sarah Milov dalam karyanya “THE CIGARETTE: A Political History” (2019) menyebut “The history of the cigarette is the history of government’s complex machinery, its levers of power differentially accessible to organized business, farmers, and activists.”
Gagasan Milov ini membunyikan alarming penting: wacana tentang tembakau dan rokok selalu politis, bukan objek kajian yang murni medis. Tembakau tidak hanya soal sehat atau beracun, tetapi juga soal kekuasaan dan cuan berlimpah.
Tembakau secara umum diyakini berasal dari Amerika Tengah dan Selatan. Temuan ini diramu dari eksplorasi dan catatan Christoforus Columbus. Warga Eropa mengenal tembakau melalui Columbus ketika ia mendarat di San Salvador pada 1492 (Bdk. Knut-Olaf Haustein & David Groneberg, 2010).
Di Amerika Latin, tembakau dipandang sebagai tanaman sakral dan dipakai dalam ritual keagamaan. Tembakau juga dipakai untuk mengobati sakit kepala dan membantu perempuan melahirkan. Selain itu, tembakau dikonsumsi sehari-hari dalam kumpul-kumpul keluarga, masyarakat desa, atau dalam bincang biasa untuk membangun keakraban.
Namun pada tahun 1527, uskup wilayah Koloni baru di Amerika, Fray Bartolomé de Las Casas, menulis sebuah deskripsi menarik tentang properti tanaman tembakau. Sejak itu, makna persahabatan dan kesetiaan dalam tembakau justru luntur perlahan. Tembakau bertransformasi menjadi “a luxury commodity” yang dieksploitasi semata untuk tujuan komersial. Produk ini lantas dikapitalisasi sebagai properti aristokratis.
Antara tahun 1530-1600, Jean Nicot, seorang duta besar Perancis untuk Portugal, meneliti efek penyembuhan tembakau. Tahun 1559, Nicot mengirim temuannya ke Catherine de Medici untuk menyembuhkan sakit kepala anaknya Charles IX. Hasilnya, menakjubkan, mujarab. Dari sinilah lahir istilah Nikotin, yang diambil dari nama belakang Jean Nicot. Menjelang tahun 1590, tembakau sudah dikenal dengan sebutan “Nicotiana”.
Kisah berlanjut. Tahun 1571, fisikawan Universitas Seville, Spanyol, Nicolas Monardes, menulis sebagai traktat tentang kegunaan medis dari tembakau. Kompendium ini ramai diterjemahkan ke aneka bahasa.
Pada tahun 1573, tembakau tiba di Inggris. Tidak menunggu lama, Kerajaan Inggris terpikat dengan rokok. Tahun 1614, 7000 lebih produk tembakau ini terjual habis di London. Kerajaan Inggris kemudian memutuskan untuk masuk dalam pasar tembakau-rokok dan berkompetisi dengan Spanyol dan Portugis.
Saking populer, pada abad 18, tembakau-rokok dikenal di seluruh dunia. Pabrik pertama tembakau dibangun di Seville, Spanyol, lalu di Hamburg, Jerman pada 1788. Tembakau. Tembakau-rokok menjadi simbol kelas menengah dan kapitalis (George Grosz, 1921).
Baru pada 1885-1886, larangan merokok mulai muncul dari kelas menengah. Namun pemantiknya bukan karena soal kesehatan, melainkan ketidaksukaan kelas menengah atas perilaku sewenang-wenang perokok orang muda. Di sinilah awal mula serangan terhadap tembakau, bukan karena medis, melainkan kecemburuan sosial.
Kelompok anti-tembakau baru bermunculan pada abad 19 di Eropa dan Amerika Serikat. Tembakau dipandang sebagai biang keladi perilaku anti-sosial. Pada tahun 1821-1828, fisikawan Posselt dan ahli kimia Reimann mencoba meneliti nikotin di dalam daun tembakau. Kedua kajian ini tidak cukup bukti dan konklusif terhadap zat bahaya di dalam daun tembakau sehingga dihentikan.
Sejak kajian Posselt dan Reimann, telaah ilmiah terhadap tembakau vacuum lama. Aktivitas merokok tanpa hambatan. Hingga tahun 1902, merokok di restoran atau tempat umum adalah sebuah kenormalan (www.rgare.com, 31/05/2020). Di Amerika, dua dekade awal abad 20, kelompok anti-tembakau sudah bergerilya. Namun kekuasaan industri tembakau masih terlalu tangguh untuk diusik (www.ncbi.nlm.nih.gov).
Surgeon General’s Report 1964
Serangan terhadap industri rokok baru bereskalasi pada tahun 1950-an ketika merokok dianggap bagian dari isu kesehatan publik. Serbuan balik ini berawal di Amerika Serikat. Pada tahun 1956, sebuah kelompok studi atas tembakau dan kesehatan diorganisir oleh the American Cancer Society, the American Heart Association, the National Cancer Institute, and the National Heart Institute (Brandt, 2009).
Kelompok ini mendemonstrasikan temuan bahwa perokok memiliki kemungkinan 5-15 kali mendapat kanker paru-paru daripada bukan perokok. Satu dari dua pria yang merokok dua bungkus sehari akan meninggal lebih cepat. Reduksi terhadap penggunaan rokok mengurangi rasio perkembangan kanker paru-paru.
Gayung bersambut, kajian-kajian ilmiah atas dampak rokok terhadap kesehatan oleh kelompok anti-kesehatan semakin membanjir. Kelompok tembakau tidak membisu. Kedua kelompok ini beradu funding dan riset ilmiah. Puncaknya adalah Surgeon General’s Report on Smoking and Health.
Pada 11 Januari 1964, Luther Terry, kepala Public Health Service US era Presiden John F. Kennedy, mengumpulkan wartawan berbagai media nasional dan internasional di ruang auditorium. Ruangan itu tertutup rapat dan dijaga ketat oleh aparat keamanan. Terry kemudian mengumumkan sebuah laporan berjumlah 400-an halaman yang berisi hasil kajian 10 anggota tim independen atas dampak rokok terhadap kesehatan masyarakat (Brandt, 2009).
Laporan Terry sontak membuat geger seluruh masyarakat Amerika Serikat dan Eropa. Laporan ini menyimpulkan bahwa rokok menyebabkan kematian karena kanker, bronchitis, episema, dan arteri Koronari (Milov, 2019). Peristiwa ini tentu saja tamparan telak terhadap industri rokok. Akibatnya, produksi dan penjualan rokok melorot drastis.
Peristiwa 1964 ini menandai titik balik kemenangan diskursus kelompok anti-tembakau terhadap kelompok tembakau (www.theatlantic.com, 11/01/2014). Tembakau dan rokok lantas diidentikkan dengan produk beracun yang memicu aneka penyakit fatal (Kluger, 1996).
Tahun 1964 juga menandai fase mengalirnya dukungan pemerintah terhadap kelompok tembakau. Keputusan Kongres yang cenderung membela kelompok tembakau pun sering diveto. Tidak hanya itu, viralnya Surgeon General’s Report 1964 mengundang semakin banyak aktivis anti-rokok bergerak.
Adapun Surgeon General’s Advisory Committee dan laporannya dianggap sebagai prosedur saintifik yang menjadi template standar untuk mengukur efek rokok dalam riset-riset selanjutnya. Laporan ini dianggap penuh integritas dan independensi, tidak terjebak kepentingan apapun. Para penelitinya bebas kepentingan sehingga Surgeon General’s Report dipandang paling ilmiah, konklusif, dan komprehensif.
Tak patah arang, kelompok tembakau menanggapi dengan berbagai cara: mulai dari mensponsori riset ilmiah hingga lobi politik tingkat atas di Kongres. Alhasil, seberkas harapan kembali mencuat. Produksi dan konsumsi kembali melambung tinggi.
Aktivis anti-tembakau juga tidak bergeming. Karena sulit menembus dinding tebal Kongres yang sudah lebih dulu disegel Philip Morris, dkk., mereka beraksi di level lokal hingga states. Hasil positif menjemput. Kelompok tembakau dibuat kocar-kacir lagi pada 1980-an.
Koalisi FDA, Industri Farmasi, WHO
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Kondisi industri tembakau yang sudah kritis diperparah kehadiran pemain baru dari industri farmasi yang sangat agresif. Sejak 1962, industri farmasi seperti Johnson & Johnson, GlaxoSmithKline, Pharmacia (Pharmacia & Upjohn), Hoechst Marion Roussel, Novartis, Pfizer turut memperebutkan nikotin (Hamilton, 2010).
Kelompok farmasi rupanya sudah menemukan rahasia nikotin yang menyimpan harta karun triliunan rupiah. Kelompok ini gencar memproduksi aneka obat untuk mengurangi ketergantungan perokok. Lucunya, obat penghenti merokok seperti Nicotrol Inhaler, Zyban, Nicoderm CQ, Nicorette, yang dipasarkan industri-industri farmasi juga mengandung nikotin. Industri farmasi didukung penuh Food and Drug Administration (FDA).
Tahun 1984 boleh dilabeli sebagai puncak penderitaan industri farmasi. Pada tahun ini, FDA secara resmi menyetujui permen karet nicotine polacrilex sebagai “obat baru” (Nicorette). Surgeon General’s Report tentang “health consequences of involuntary smoking” tahun ini pun menambahkan masalah baru: dampak buruk rokok terhadap perokok pasif.
Koalisi maut industri farmasi dan FDA semakin solid pada tahun 1990-an ketika David Kessler didapuk menjadi kepala FDA. Sejak berkuasa, Kessler membentangkan karpet merah untuk produk-produk industri farmasi. Ia juga mendorong rokok di Amerika diproduksi hanya oleh satu perusahaan yang diberi wewenang oleh Kongres.
Tembakau sebenarnya tidak masuk dalam wilayah kontrol FDA. Namun pada tahun 1995, Kessler menerobos batasan itu dengan argumentasi tembakau menghasilkan penyakit pediatrik sehingga harus diawasi FDA. Ia lalu menyerahkan sebuah daftar rancangan regulasi tembakau versi FDA ke Gedung Putih pimpinan Clinton yang bersikap amat terbuka kepada Kesler.
Gebrakan Kesler didukung Senator Edward Kennedy, titipan industri farmasi dalam Kongres yang menyabotase upaya Kongres mereformasi FDA pada tahun 1997. Anggota panel Dorothy Hatsukami, yang juga penerima dana Robert Wood Johnson Foundation, menekan Kongres untuk memberlakukan undang-undang yang memberi FDA wewenang untuk mengatur rokok berisiko rendah.
Baru pada pada tahun 2000, Mahkamah Agung AS memutuskan FDA tidak memiliki wewenang kongresional untuk meregulasi tembakau. Menurut MA, Kongres belum memberikan hak legislasi tembakau pada FDA.
Masalah belum menemui ujung. Massa kelompok anti-tembakau semakin menggila pada tahun berikutnya. Industri farmasi bahkan menerobos World Health Organization (WHO). McNeill terlibat dalam proyek kemitraan WHO untuk pengendalian tembakau yang didanai perusahaan farmasi.
WHO dan American Cancer Society (ACS) menjadikan berhenti merokok dan penanganannya sebagai tema utama World No-Smoking Day dan Great American Smokeout, yang untuk dua acara itu perusahaan-perusahaan obat dengan sukacita mengucurkan dana. WHO dan ACS juga membentuk “kemitraan” dengan perusahaan-perusahaan obat yang dipublikasikan besar-besaran.
Geliat WHO memang sarat kepentingan politis. Thomas S. Szasz, salah satu pendiri WHO mengakui, “The medical doctor treats cancer of the lung. The political doctor treats smoking, preventable by legislation, litigation, and taxation, and curable with nicotine administered by any route other than inhalation. Sanctimony and hypocrisy replace honesty and self-discipline” (2001). WHO lebih merupakan asosiasi dokter-dokter politis daripada dokter medis profesional.
Tembakau di Indonesia
Tembakau baru dikenal di Indonesia pada 1601-1602. Kala itu, raja Senopati meninggal dunia, dan Amangkurat I meneruskan tahta kakeknya. Amangkurat I lantas mengkonsumsi sirih-pinang dan tembakau secara publik (Antony Reid, 1985: 535). Peristiwa ini dikenal sebagai awal mula tembakau dipakai di Indonesia.
Meskipun demikian, tidak pernah tercatat bahwa tembakau dibawa oleh penjajah dan ditanam di Indonesia. Karena itu, menggunakan konsepsi arkeologi-genealogi Michel Foucault, antropolog Melissa C. Mitchell (2013) membuka kemungkinan keberadaan tanaman tembakau di belahan dunia lain, termasuk Indonesia. Knut-Olaf Haustein & David Groneberg juga mengakui keberadaan tembakau di Indonesia tanpa mengklaim tanaman tersebut dibawa oleh Portugis atau Belanda.
Menurut Melissa, Columbus adalah personifikasi superioritas episteme Barat. Tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban literasi masyarakat Barat lebih awal berkembang dibandingkan masyarakat belahan dunia lain. Karena itu, catatan sejarah Columbus hanyalah rekaman atas kesaksian Columbus, bukan representasi kenyataan historis secara keseluruhan. Tanaman tembakau kemungkinan sudah berada dan dipakai masyarakat wilayah lain, yang tidak berkemampuan untuk meninggalkan kesaksian dalam literatur sejarah atau arsip tertentu.
Memang terdapat kemungkinan tembakau dibawa oleh penjajah lantaran Indonesia sudah dinvasi pada abad 16. Meskipun demikian, ketiadaan bukti tertulis tetap membuka kemungkinan atas kebenaran asumsi Melissa. Ingat, “history is written by the winner”.
Entah diimpor oleh penjajah entah memang tanaman asli Indonesia, tembakau tetap memiliki sistem signifikansi simbolik, sosial, kultural, politik, dan ekonomi. Karena itu, Melissa sendiri menegaskan bahwa tembakau dan rokok tidak dapat ditilik hanya dengan kacamata kesehatan.
Di Indonesia, Antoni Reid (1985) menemukan tembakau berevolusi menjadi rokok menggantikan posisi memakan sirih-pinang sebagai perekat relasi sosial. Rokok dipakai masyarakat Indonesia sejak era pra-penjajahan Belanda untuk memfasilitasi interaksi sosial dan perangsang untuk menyatukan pendapat di dalam ‘diskusi’ publik.
Di era penjajahan Belanda, rokok bertransformasi menjadi simbol identitas nasional dan resistensi nasional terhadap kolonialisme. Kretek diperkenalkan sebagai produk khas Indonesia, komoditas yang diciptakan di luar framework Barat, dan langsung menjadi lawan terhadap “white cigarette” yang menyimbolkan kesombongan Barat (Fabian, 1991).
Akar historis dan sosio-kultural tembakau dan rokok di atas mengindikasikan tembakau dan rokok merupakan semen perekat interaksi sosial, identitas bangsa, dan simbol perlawanan nasional terhadap penjajahan. Karena itu, wacana tentang tembakau dan rokok tidak dapat dilepaskan dari isu kedaulatan nasional. Meredupkan sinar tembakau dan rokok yang mendongkrak semangat juang Indonesia boleh jadi adalah kolonialisme terselubung.
Politis, bukan saintifik
Mengamati liku-liku perjalanan panjang perseteruan di sekitar industri hasil tembakau (IHT), Sarah Milov, peneliti politik tembakau sampai menyimpulkan, “the relative power of smokers versus nonsmokers was, foremost, a political rather than a scientific question” (2019).
Riset-riset ilmiah seputar tembakau tidak pernah bebas orientasi politik. Telaah ilmiah hanya dijadikan tameng untuk melegitimasi kepentingan politik tertentu di dalam mendukung atau menolak tembakau dan rokok. Pola ini tidak hanya terjadi di Eropa dan Amerika Serikat. Indonesia juga membebek.
Hal lain, banyak kajian mengandaikan seolah perokok, petani tembakau dan industri rokok raksasa selalu berada di satu keranjang. Padahal, kelompok-kelompok ini malah sering berdiri di sudut berseberangan. Silang pendapat kelompok kesehatan dan kesejahteraan di Indonesia jarang menggubris perbedaan ini.
Diskursus-diskursus perihal IHT juga sering mengabaikan kalangan perokok dan petani tembakau (Milov, 2019). Aspirasi kelompok perokok dan petani tembakau sering diklaim sudah direpresentasi oleh pemerintah dan industri rokok. Sayangnya, sejauh ini pemerintah dan industri rokok kelihatan lebih sering berbicara tentang perokok dan petani tembakau, daripada berbicara dengan kedua kelompok marjinal di lintasan IHT ini.
Kondisi Indonesia berbanding terbalik dengan Amerika Serikat. Tahun 1990-an, ketika gerakan anti-tembakau tidak dapat menembus Kongres, mereka bergerilya di pemerintahan lokal. Di Indonesia saat ini, ketika di level pusat, larangan terhadap produk tembakau terus digaungkan, di tingkat lokal masyarakat dan pejabat justru mendukung IHT lantaran memberikan banyak dampak positif terhadap kesejahteraan sosial (Milov, 2019).
Sarah Milov mengakhiri opus magnum-nya dengan sebuah kesimpulan provokatif: “Weeds Are Hard to Kill: The Future of Tobacco Politics”. Terlalu dini untuk memprediksi pemenang dari pertarungan ini. Jalan masih panjang. Semoga penerbitan Keppres 25/2022 untuk merevisi PP 109/2012 objektif dan tidak innocent, tidak menambah deretan kesalahan dan menimbulkan korban warga kecil di sepanjang rantai pasok IHT.