Konsekuensi Sistem Multipartai

Lukas Benevides

Lukas Benevides

Mengulik sistem multipartai di Indonesia sama dengan menyoal masalah klasik yang sudah kadaluarsa. Tidak menarik, usang, membosankan, bisa jadi juga rumit. Konon, almarhum Wakil Presiden Mohammad Hatta pernah berceloteh: hanya seseorang yang tidak mengenal Indonesia akan mendaku sudah sepenuhnya memahami Indonesia.

Antrian panjang partai-partai untuk mencatutkan nama pada Komisi Pemilihan Umum menyosong pemilu serentak 2024 menunjukkan kecerahan cuaca politik tanah air. Politik demokrasi kita kembali berbulan madu.

Meskipun begitu, kita mungkin perlu mendeteksi keseriusan praksis sistem multipartai ini. Apakah menjamurnya partai politik (parpol) merupakan buah kemajuan demokrasi kita atau justru tontonan pertarungan kekuasaan yang eksesif?

 

Alur cerita demokrasi multipartai

Tampaknya skema multipartai mengalir dalam DNA Indonesia. Sejak pra-kemerdekaan perjuangan Indonesia sudah menunjukkan tanda-tanda demokrasi multipartai. Kehadiran Sarekat Islam (1905), Partai Komunis Indonesia (1914), dan Perserikatan Nasional Indonesia (1927) meretas jalan menuju format ini meskipun Soekarno sebenarnya menolak dengan alasan kerentanan terhadap perpecahan nasional (Eklof, 2003).

Pasca kemerdekaan, sejak awal Indonesia memutuskan menganut sistem representasi multipartai. Komitmen ini diperkuat landasan hukum Surat Keputusan Wakil Presiden M. Hatta No X/1949 (ditjenpp.kemenkumham.go.id). Hasilnya dari keputusan ini, sebanyak 29 partai politik (parpol) dan peserta perseorangan berlaga pada pemilu 1955.

Meskipun sempat melayu selama Orde Baru, semangat multipartai kembali mekar pasca Reformasi. Baru saja terlepas dari kurungan Orde Baru, 48 parpol ikut merumput, termasuk enam parpol paling populer (PDIP, PKB, Golkar, PAN, PPP, PBB) dalam pemilu nasional 1999 (U. Zenzie, 1999).

Pada pemilu nasional 2004, jumlahnya sedikit menyusut ke 24 parpol. Kontestasi nasional 2009 kembali membara, diramaikan oleh 34 parpol (nasional.kompas.com, 7/7/2008). Jumlah ini menurun drastis pada 2014 (12 parpol) dan 2019 (14 parpol) (nasional.kompas.com, 19/05/2022). Meskipun melorot, angka belasan bukan sedikit.

Di dalam sistem multipartai, semakin banyak parpol kontestan, semakin positif. Ilmuwan politik David Austen-Smith and Jeffrey S. Banks mengatakan esensi sistem representasi multipartai sebenarnya adalah sebuah mekanisme pilihan sosial yang dimaksudkan untuk mengagregasi preferensi individu sejak pra-pemilu hingga formasi koalisi pasca-pemilu (1988, 2005).

Dibandingkan pola dwipartai, multipartai lebih memberikan peluang bagi kontestan dan pemilih untuk menjatuhkan pilihan. Walaupun begitu, kualitas demokrasi representatif tidak serta merta mengekor. Ada determinan lain yang berpotensi merusak pola tanding ‘keroyokan’ ini.

 

Borok demokrasi multipartai

Meskipun lebih mencerminkan hakikat demokrasi, sistem multipartai bukan tanpa borok. Scott Mainwaring menandai tiga simpton ketika representasi multipartai di-merger-kan dengan sistem presidensil (1993).

Pertama, sulitnya terbentuk koalisi mayoritas di legislatif yang mendukung roda pemerintahan. Alhasil, banyak kebijakan terancam mangkrak. Kita tentu masih mengingat fase awal periode pertama Presiden Jokowi Widodo yang tersandera di lembaga legislatif lantaran koalisi pendukung pemerintah lebih sedikit.

Kedua, polarisasi ideologis yang mengakibatkan instabilitas. Rezim Presiden Joko Widodo persis mengalami gejolak ini. Pengerahan massa berkali-kali oleh aliansi 212 mengakibatkan destabilisasi politik, keamanan, dan ekonomi.

Ketiga, kerentanan koalisi interpartai presiden di parlemen. Sekuat-kuatnya koalisi jumbo yang menopang kekuasaan Presiden Joko Widodo, tetap tidak nihil masalah. Beberapa bulan terakhir, deklarasi capres tertentu menimbulkan riak internal koalisi.

Ketiga masalah di atas tidak hanya menimpa rezim Joko Widodo. Presiden pendahulu, Susilo Bambang Yudhoyono pun pernah mengalami hantaman serupa (Liddle & Mujani, 2006).

Selain bergesekan dengan prosedur presidensil, batasan ideologis antara parpol menjadi kabur di dalam sistem multipartai Indonesia. Apa pembeda partai berhaluan agama yang satu dengan yang lain? Apa juga pembeda di antara partai nasionalis?

Identitas ideologi tidak bisa didasarkan hanya atas perbedaan sudut pandang atau syahwat kekuasaan sesaat. Wajah pasaran parpol-parpol di Indonesia begitu kental. Rata-rata didirikan oligarki. Itupun dipicu silang pendapat dengan internal bekas partainya.

Terdapat tiga bentuk ideologi: subjektif, institusional, dan parpol (Ball & Dagger, 2014). Kelemahan parpol di Indonesia adalah belum mentransformasi ideologi subjektif pendirinya menjadi ideologi institusi dan parpol. Karena itu, parpol identik dengan ketokohan pendiri. Ketika pendirinya turun tahta, parpol ikut tumbang.

Masalah lain, ideologi sering ditransposisi dengan budaya politik dan branding, padahal bedanya lumayan. Branding adalah formasi politik yang ditujukan untuk membangun kesadaran, mendongkrak popularitas, dan memikat pemilih (Jamil & Hesti, 2019).

Budaya politik menyoroti pengaruh disposisi budaya, seperti keyakinan, nilai-nilai, sikap dan orientasi sosial-keagamaan, pada perkembangan politik dan perilaku (Pye & Verba, 1965; Österberg, 1998).

Kebanyakan parpol di Indonesia pandai membuat branding, tetapi tidak memiliki kejelasan ideologi. Maka, rerata parpol sebenarnya mengalami krisis identitas, bukan krisis ideologi seperti marxisme atau komunisme. Krisis karena tidak memiliki ideologi.

WhatsApp
Facebook
Twitter