Parpol Indonesia Krisis Ideologi

Lukas Benevides

Lukas Benevides

Menyosong pemilu serentak 2024, kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) sesak. Partai-partai membludak. KPU mencatat 40 partai mendaftar untuk kontestasi nasional 2024 (cnbcindonesia.com, 15/08/2024). Dari sekian jumlah, hanya 17 partai dinyatakan lolos verifikasi. KPU baru saja mengumumkan nomor urut ke-17 partai tersebut (cnnindonesia.com, 15/12/2022).

Fenomena politik ini mengindikasikan positifnya iklim demokrasi di Indonesia. Meskipun demikian, gegap gempita ini perlu dilirik kritis. Jangan sampai selebrasi tersebut hanya seremoni administratif, bukan pengejawantahan substansi demokrasi.

Kualitas iklim demokrasi dan partai ditentukan pertama-tama oleh ideologi partai dan tetesannya pada kebijakan publik. Pertanyaan kita, pertama, apakah meningkatnya jumlah partai politik di Indonesia dibarengi basis ideologis yang jelas? Kedua, apakah ideologi partai sungguh mewarnai pertimbangan, keputusan, dan kebijakan publik partai?

 

Ideologi partai politik

Di dalam praksis politik, ideologi adalah mesin yang menggerakan kerangka partai, mendongkrak kompetisi elektoral, dan menderivasi kebijakan (Wetherly, 2017). Ideologi partai politik dengan demikian menjadi raison d’etre (alasan sebuah partai didirikan). Karena itu juga, ideologi setiap partai tidak dapat sama.

Ada banyak definisi ideologi. James M. Decker mengklasifikasikan ideologi ke dalam tiga klaster: subjektif, institusional, dan politik. Ia lantas mendefinisikan ideologi sebagai “proses resiprokal di mana gagasan-gagasan subjektif, institusional, dan politik beroperasi di dalam sebuah jaringan kekuasaan yang dikehendaki dan tidak terantisipasi” (2004).

Usulan Paul Schumaker (et.al, 1996) termasuk salah satu yang komprehensif. Schumaker dkk., memahami ideologi sebagai pernyataan empiris dan logis tentang kenyataan historis dan masa kini dari kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Ideologi juga menyediakan sistem cita-cita atau nilai yang koheren tentang bagaimana masyarakat, ekonomi, dan pemerintah harus dibangun.

Terence Ball dan Richard Dagger mematok empat fungsi dasar ideologi: eksplanatoris, evaluatif, orientatif, dan programatik (2014). Di dalam konsepsi Schumaker dkk., ideologi memiliki karakter paradigmatis (deskriptif dan eksplanatoris) dan utopis (normatif dan visioner).

Tidak hanya itu, ideologi harus memiliki Philosofische grondslag atau Weltanschauung (philosophical bases) yang mengandung konsep kodrat manusia dan masyarakat, ideal-ideal atau prinsip-prinsip substantif politik yang menjadi tujuan setiap partai politik.

Jadi, sebuah partai politik baru memenuhi syarat jika mampu menjelaskan masalah sosial, ekonomi, dan politik, memberi evaluasi, memberi orientasi, dan merancang program untuk memperbaiki kondisi masyarakat berdasarkan landasan filosofis tertentu.

 

Partai politik di Indonesia

Deskripsi ideologi di atas memberikan roadmap bagaimana praksis politik harus dijalankan. Bukan tabu kalau tujuan utama semua partai di dalam sistem representasi politik adalah mengambil posisi kebijakan yang dapat mendongkrak dukungan elektoral (Schofield & Sened, 2006).

Walaupun demikian, peran ideologi harus mewarnai semangat perjuangan pra-pemilihan, pemilihan, formasi koalisi hingga panggung legislatif (Austen-Smith & Banks, 1988, 2005). Artinya, tidak mudah untuk mencapai kata sepakat atas isu tertentu karena batasan ideologis.

Beberapa negara demokrasi maju mampu mendaratkan template ini. Sebagai contoh, kebijakan luar negeri Israel terkait isu Palestina, partai sayap kanan Likud dipimpin Benyamin Netanyahu tegas menolak solusi dua negara, sedangkan partai kiri-tengah Zionist Union yang dikomandani Isaac Herzog tegas mendukung (Masyrofah, 2015).

Amerika Serikat juga mampu menghasilkan kebijakan tanpa mengaburkan identitas ideologi. Menanggapi Covid-19, sebagai contoh, Partai Demokrat mendahulukan agenda kesehatan dengan mendorong pemakaian masker dan pembatasan aktivitas publik. Sementara itu, Partai Republik menolak pembatasan sosial karena mementingkan agenda kesejahteraan ekonomi (Bruine de Bruin, et.al., 2020).

Di Indonesia, menjamurnya partai mengakibatkan sulitnya membedakan ideologi partai-partai, apalagi Orde Baru hanya mengijinkan partai berhaluan agama dan nasionalis (Eklöf, 2003). Ketidakjelasan demarkasi ini membuat partai politik berkoalisi tanpa pandang bulu di baik level nasional maupun lokal.

Partai berhaluan agama dapat duduk mesra semeja dengan partai nasionalis. Kita dapat memotret keganjilan ini, misalnya, melalui posisi partai-partai terhadap aturan presidential threshold (Al-Hamdi, 2019), atau pengesahan KUHP baru (nasional.kompas.com, 6/12/2022) dan proyek Ibu Kota Negara (cnnindonesia.com, 18/01/2022).

Sebagai negara demokrasi besar dengan sistem representasi multipartai, semakin banyak partai seharusnya semakin banyak paslon yang berlaga. Pilpres 2014 dan 2019 hanya berhasil diisi dua paslon. Panas-panas menjelang Pemilu serentak 2024, masih terdapat elit politik yang terus menggaungkan terulangnya dua paslon dengan alasan menghemat anggaran (cnnindonesia.com, 25/08/2022).

Kuatnya pengaruh oligarki dan dinasti politik semakin mempertebal mental  vote-seeking dan official-seeking partai (Hasibuan & Ma’riyah, 2020). Kenyataan ini sebenarnya adalah pragmatisme politik dan demokrasi transaksional yang dapat menjadi tumor demokrasi (Rosanti, 2020).

Jika tidak dihentikan, dikhawatirkan pesta demokrasi kita menjadi hambar, tidak ‘berdaging’, tanpa tamu. Orang lebih terkesima siapa yang akan memimpin, bukan apa partainya, karena partai tidak efektif di dalam menggarap pemenangan dan kerjaan politik (Gerry van Klinken, 2001).

WhatsApp
Facebook
Twitter