Pengesahan RKUHP yang baru melalui sidang paripurna DPR RI (02/12) memicu aksi penolakan massal dari banyak kalangan. Meskipun Pemerintah, tentu saja juga konconya legislatif, selalu memiliki seribu alasan seperti biasanya, massa tak kunjung terpuaskan (news.detik.com, 6/12).
Aksi terus berjalan walaupun tidak sebrutal sebelumnya. Malah makin beradab, belajar dari masa lalu. Yang semrawut berbelok arah ke kelompok sebelahnya yang tak merasa bersalah menginjak-injak hak demokratis dan konstitusional demonstran untuk menyampaikan aspirasi.
Dari sekian masalah yang terinventarisir, salah satu yang sensitif, bahkan menarik tanggapan dari Dubes Amerika Serikat terkait pasal perzinaan (www.cnnindonesia.com, 0/12/2022). Walaupun berbagai alasan, mulai dari delik aduan hingga percobaan selama tiga tahun, sudah disuguhkan, pasal ini tetap saja tidak elok. Mengapa?
Menyandera ruang privat
Jawaban pendeknya ialah ruang privat tersandera KUHP. Sejarahnya panjang. Perang agamis selama 30 tahun (1618-1648) di Eropa membuka lebar-lebar mata penduduk benua biru itu.
Salah satu sengketa berdarah paling lama ini dipicu oleh satu kesalahan kecil: ketiadaan batas antara ruang privat dan publik. Negara merasa berhak dan berkewajiban untuk mengatur keimanan orang. Akibatnya, nyawa warga dicabut paksa bila tidak sesuai preferensi iman penguasa (Marie Vieceli, 2013).
Tragedi kemanusiaan atas nama ‘Tuhan’ di atas menorehkan luka serius pada banyak orang. Lahirlah beragam pemikir dengan satu suara: harus dibedakan dan dipisahkan ruang privat dan publik. Di sinilah dimulainya sekularisasi. Gerakan sosial sosio-politik ini mendorong agama dipisahkan dari res publica yang boleh diobrak-abrik negara (Charles Taylor, 2007).
Sekularisasi lantas menjadi cikal bakal transformasi politik demokrasi klasik ke dalam versi modern. Ada dua prinsip demokrasi, apapun bentuknya, yakni kesetaraan dan kebebasan (Laclau & Mouffe, 2001). Observasi Alexis de Tocqueville menunjukkan bahwa kedua prinsip ini memiliki fungsi “fermenting agen”, yaitu setelah diinstitusionalisasikan, mereka akan merebak ke berbagai ranah.
Dengan demikian sebenarnya sekularisasi tidak hanya mengurusi soal agama. Semua aktivitas di dalam ruang privat harus dilindungi dari tangan kekuasaan negara. Urusan rumah tangga atau ranjang adalah privasi. Negara hanya boleh menerobos urusan domestik keluarga bila terdeteksi merugikan publik.
Liberalisme dan versi ekstrimnya libertarianisme memprioritaskan kebebasan di atas kesetaraan, sedangkan sosialisme versi ekstrimnya komunisme mengidolatriakan kesetaraan. Namun, semakin ke sini, semua negara semakin menyadari bahwa berada di kutub ekstrim selalu memanen malapetaka. Lebih baik mengambil jalan tengah yang inklusif dan partisipatif.
Maka lahirlah negara kesejahteraan yang mengawinkan sosialisme dan liberalisme di bawah payung demokrasi sosial. Panji-panji negara kesejahteraan, paham yang juga malu-malu diadopsi Indonesia, menerapkan pola intervensi terbatas: sejauh mengganggu urusan publik, negara berhak mengintervensi. Kita bisa bertanya di sini: apakah perzinahan merusak tatanan publik?
Kontroversi klise
Demokrasi sosial menarik garis demarkasi yang jelas di antara wilayah privat dan publik. Negara-negara demokrasi maju seperti Eropa Barat, Amerika, dan Jepang, menulis dengan jelas batasannya di dalam norma konstitusional.
Dengan mengadopsi sistem demokrasi, Indonesia juga berkomitmen menaruh hormat pada pembedaan kedua domain ini. Lantas, ada gerangan apa Indonesia saat ini kepincut mengurusi aktivitas ranjang?
Mungkin alasannya ini. Konsep ruang privat dan publik masih “essentially contested”: tidak ada definisi tunggal. Pada tahun 1960an, gerakan feminisme menggoyangkan Eropa dan Amerika dengan slogan “the personal is political”.
Bagi kalangan feminis, pembedaan ruang privat dari ruang publik adalah skema politisasi baru yang dapat melanggengkan kekerasan di dalam domain privat seperti rumah tangga. Di sisi lain, kelompok mainstream rezim demokrasi mendesak pembedaan dan pemisahan berkaca pada sejarah kelam totalitarianisme di Eropa.
Sistem demokrasi berusaha membatasi intervensi negara di dalam ‘bisnis’ privat untuk mencegah terulangnya sejarah tragedi tersebut. Mereka yakin, sekali membiarkan urusan ranjang dicampuri pihak eksternal (kekuasaan negara), demarkasi ranah privat dan publik menjadi blurred. Dengan begitu, semakin banyak sabotase atas ranah privat menyusul.
Kecemasan kalangan demokratis masuk akal. Ada dua alasan mendasar. Pertama, jebakan kata-kata Lord Acton ini, ‘‘Power tends to corrupt; and absolute power corrupts absolutely’’ (Rufus Fears, 1984), terbukti di dalam realisme politik. Mengamputasi teritori privat adalah bentuk korupsi kekuasaan yang keranjingan absolut. Sekali mencicipi manisnya, penguasa akan ketagihan.
Alasan kedua, semakin banyak aturan, semakin banyak dilanggar. Mengapa? resistensi selalu muncul terhadap opresi kekuasaan. Tanggapan setimpal kekuasaan negara terhadap resistensi akar rumput ialah represi. Maka, lahirlah sekuensi kekerasan dan kejahatan.
Kedua rasionalitas di atas seharusnya menyadarkan penguasa untuk menahan obsesinya mengurusi bisnis ranjang. Ranah privat, betapapun rumitnya, harus dihormati. Bila bilik pribadi juga diatur layaknya panggung publik, di manakah kebebasan?