Pemerintah baru saja menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT). Salah satu yang ikut tersenggol adalah rokok elektrik (elektronik). Terseretnya rokok elektrik ke dalam lingkaran cukai sebenarnya menyimpan secuil cerita menarik.
Secara tidak langsung, memasukkan rokok elektrik ke dalam CHT adalah pernyataan resmi pemerintah bahwa jenis rokok elektrik apapun termasuk di dalam Industri Hasil Tembakau (IHT). Rokok elektrik dengan begitu secara hukum dipandang sebagai produk tembakau yang lain.
Konsekuensi lanjutan kebijakan cukai tersebut ialah regulasi yang mengatur rokok elektrik masih dan harus menggunakan Peraturan Pemerintah 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan (PP 109/2012). Padahal, tidak ada sedikit pun secara eksplisit isu rokok elektrik dibahas di dalam PP 109/2012 ini.
Rokok elektrik sebenarnya hingga saat ini masih menjadi produk terlarang di hadapan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Meskipun begitu, legalisasi produksi dan pemasaran rokok elektrik di Indonesia justru berasal dari Peraturan Kementerian Keuangan tahun 2018 (Bigwanto, et.al., 2019).
Di sini kelihatan terjadi dikotomi pertimbangan medis dan politik ekonomi. Secara medis masih dilarang, tetapi dari gerbang politik ekonomi, rokok elektrik diizinkan secara sah berseliweran di seluruh sudut Indonesia.
Pengenaan cukai memang secara teoritis adalah bentuk pelarangan terhadap produk tembakau (O’Leary & Polosa, 2020), tetapi dari perspektif politik hukum, cukai adalah juga pengakuan atas keberadaan rokok elektrik di teritori Indonesia.
Padahal, keberadaan rokok elektrik belum mendapat regulasi resmi yang setimpal dengan produksi, distribusi, dan konsumsinya di Indonesia. Sejauh ini pemerintah hanya mampu mengatur perihal impor rokok elektrik melalui Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2017. Selain itu, rokok elektrik sendiri sebenarnya bukan lagi produk tembakau lain.
Sejarah Rokok Elektrik
Rokok elektrik sudah ditemukan sejak tahun 1963. Herbert A. Gilbert adalah penemu transformasi rokok ini dan ia mendapat hak paten atas produk tersebut dengan sebutan “a smokeless non-tobacco cigarette”. Namun sosok yang pertama kali memproduksi rokok elektrik secara massal adalah Hon Lik, seorang warga Tiongkok pada tahun 2003. Setahun berikutnya, rokok elektrik ini beredar ke pasar seluruh dunia (BPOM, 2017: 13).
Rokok elektrik muncul dalam tiga jenis: (1) rokok elektronik; (2) produk tembakau yang dipanaskan; (3) produk tembakau oral. Percobaan pertama komersialisasi rokok elektronik dimulai pada tahun 1979 oleh Phil Ray dan Norman Jacobson. Produk tembakau yang dipanaskan dipasarkan pada 1988 oleh RJ Reynolds (Premier), dan produk tembakau oral pada 2001 oleh Swedish Match (Exalt) serta US Smokeless Tobacco Company (Revel) (O’Connor et al., 2021). Ketiga produk memiliki persamaan utama, yakni tidak dibakar dan mengandung lebih sedikit ragam zat dari rokok konvensional.
Produk rokok elektrik diperkenalkan ke pasar Eropa dan Amerika Serikat pada tahun 2006, lalu perlahan merembes ke negara-negara lain termasuk Indonesia. Produk rokok terbaru ini mulai menggeruduk pasar Indonesia sekitar tahun 2008. Masuknya rokok elektrik ke Indonesia merupakan hasil dari kesuksesan komersialisasi rokok elektrik “Ruyan” di Tiongkok oleh Dragonite International pada tahun 2003.
Di Indonesia, sebagaimana dideteksi Global Adults Tobacco Survey, sejak 2010 kesadaran dan pengguna rokok elektrik sudah mencapai 10,9%. Dari antaranya 2,5% adalah pengguna aktif (Mohan Palipudi, et.al., 2016). Meskipun begitu, patut disayangkan, hingga detik ini rokok elektrik belum memiliki regulasi mandiri.
Pemerintah memaksakan pengaturan rokok elektrik pada PP 109/2012 dengan dalih rokok elektrik adalah bagian dari produk tembakau (Aminullah, 2019). Alhasil, Indonesia termasuk di dalam negara dengan regulasi rokok elektrik terlemah di dunia, padahal menjadi negara dengan target pasar tertinggi di Asean (van der Eijk, 2022).
Regulasi Rokok Elektrik
Meskipun kesadaran atas kehadiran rokok elektrik di Indonesia dibarengi semakin menanjaknya perokok elektrik sudah sejak 2010 (Putri Pratiwi, 2020), tanggapan Pemerintah dalam bentuk regulasi belum kelihatan (www.kompas.id, 20/07/2022). Indonesia dengan gamblang memandang rokok elektrik sebagai produk tembakau. Karena itu, CHT pun ditempelkan pada rokok elektrik (Campus, 2021).
Tanggapan pemerintah terhadap gerilya rokok elektrik di dalam pasar Indonesia menuai kontroversi. BPOM melarang produk hasil revolusi industri ini pada tahun 2010. Tanggapan BPOM sebenarnya mengekor Food and Drug Administration (FDA) yang sudah pada 2009 melarang rokok elektrik lantaran, menurut kajian internalnya, mengandung nitrosamines dan diethylene glycol yang dikenal toksikal (FDA, 2011; Rahayuwati, et.al., 2020; Palazzolo, 2013; Hasni D. & Widati, 2022).
Berselang setahun World Health Organization (WHO) pun lantas menyusul FDA (Franchyeda dan Sinaga, 2021; Marques, et.al., 2021). Keburu offside, FDA akhirnya menjilat ludah sendiri dengan kembali mengesahkan pemasaran “Heat Not Burn Tobacco” (HNBT) pada tahun 2019 (FDA, 2019).
Sudah jadi rahasia umum kalau FDA dan WHO itu lebih merupakan lembaga politis. Industri-industri farmasi yang turut memperebutkan nikotin sebagai terapi untuk melawan industri rokok menitipkan orang-orangnya ke dalam kedua lembaga ini. Mereka bahkan mempenetrasi tembok tebal Congress Amerika Serikat melalui Partai Republik.
WHO tidak lebih dari asosiasi dokter-dokter politik. Szeming Sze, salah satu pendiri WHO, misalnya dengan sarkastis mengatakan, “My part in the founding of WHO was 90% diplomatic and only 10% medical. It was politics all the time” (Hamilton, 2010).
Manuver politik ekonomi WHO begitu kental sehingga Thomas S. Szasz mengatakan “The medical doctor treats cancer of the lung. The political doctor treats smoking, preventable by legislation, litigation, and taxation, and curable with nicotine administered by any route other than inhalation. Sanctimony and hypocrisy replace honesty and self-discipline” (The Independent Review, 2001).
Sayangnya, lembaga politis yang bias kepentingan partisan seperti ini masih sering menjadi rujukan lembaga-lembaga tinggi di negara kita. Para peneliti pun mudah saja mempercayai kajian dan pernyataan WHO sebagai dilakukan Bigwanto dan kawan-kawan. Rokok elektrik didefinisikan sebagai “electronic nicotine delivery system (ENDS)” (Bigwanto, et.al., 2019). Padahal, tidak semua rokok elektrik mengandung nikotin.
Di tanah air, pada tahun 2010 BPOM menyatakan rokok elektrik mengandung zat-zat tertentu yang tidak sehat dan melarang peredaran di pasar Indonesia. Namun, Kementerian Keuangan mengenakan cukai pada beragam e-liquid melalui Peraturan Kementerian Keuangan tahun 2018. Permenkeu ini, dengan demikian, mengesahkan rokok elektrik sebagai produk legal di Indonesia (Bigwanto, et.al., 2019).
Kajian terhadap Rokok Elektrik
Tidak selambat Indonesia, negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Swedia sudah sejak pertengahan tahun 2000-an mereaksi secara serius terhadap kemunculan rokok elektrik. Pemerintah Amerika Serikat sejak 2005 sudah mengumpulkan para ahli lintas disiplin dan policy-maker lintas sektor untuk mendiskusikan tanggapan terhadap peredaran rokok elektrik. Melalui diskusi alot, akhirnya pada 2008 forum interdisiplin ini berhasil merumuskan konsensus bersama yang diberi judul “The Strategic Dialogue on Tobacco Harm Reduction”.
Di antara sekian banyak rekomendasi, forum diskusi ini mendorong pemerintah untuk membentuk tim peneliti yang terdiri dari berbagai ahli dengan latar keilmuan berbeda (Zeller, et al., 2009). Setelah satu dekade lebih, Amerika berhasil memproduksi traktat penelitian paling lengkap berjumlah 700 lebih halaman dengan judul “Public Health Consequences of E-Cigarettes” (2018).
Pemerintah Inggris melalui Public Health England (PHE) pun melakukan kajian lama dan menerbitkan hasil kajian interdisiplin tersebut pada tahun 2015. Disusul versi terbaru pada 2018 “Evidence Review of E-Cigarettes and Heated Tobacco Products. A Report Commissioned by Public Health England”. Dua tahun kemudian, kajian ini diperbarui menjadi “Vaping in England: An Evidence Update Including Mental Health and Pregnancy, March 2020: A Report Commissioned by Public Health England”.
Rekomendasi dari kajian-kajian komprehensif di atas justru menunjukkan lebih banyak sisi positif rokok elektrik dibandingkan rokok konvensional. Atas dasar itu, Pemerintah Inggris tak tanggung-tanggung memberikan subsidi terhadap rokok elektrik sebagai upaya membantu perokok berhenti merokok dan mengurangi pasien penderita penyakit akibat merokok (Campus, et.al., 2021)
Meskipun tidak nihil kekurangan, kajian terbaru menunjukkan rokok elektrik lebih aman dari rokok konvensional (Marques, et.al., 2021). Di antara sekian kajian, penelitian Rima Januaristi dan Revalita Wahab, misalnya, mengindikasikan tidak terdapat hubungan yang bermakna di antara rokok elektrik dan cardiovascular disease (CVD) (2018).
Sistematik literature review terbaru terhadap produk rokok elektrik seperti Snus and smokeless (oral) tobacco, Heated tobacco products, E-cigarettes justru menunjukkan kemajuan menakjubkan. Ada empat manfaat nyata. Pertama, kadar nikotin turun. Kedua, mengurangi dampak terhadap second-hand smoker (perokok pasif). Ketiga, membantu perokok perlahan berhenti merokok: mendorong cessation dan mencegah relapse. Keempat, mengurangi dampak penyakit dan kematian (O’Leary & Polosa, 2020).
Bukan Rokok Konvensional
Kualitas rokok elektrik menunjukkan secara jelas bahwa produk ini berbeda dengan rokok konvensional. Beberapa alasan berikut menunjukkan rokok elektrik adalah hasil transformasi industri dan harus diletakkan di keranjang yang berbeda dari rokok konvensional.
Pertama, rokok elektrik bukan satu jenis produk yang homogen, melainkan sekelompok alat yang luas jenis dan mereknya, bervariasi komponennya. Terdapat 400-an lebih merek. Beberapa yang sudah tersebar di Indonesia misalnya “Heat Not Burn Tobacco (HNBT), e-cigs”, “e-hookahs”, “mods”, “vape pens”, “vapes”, “tank systems”, atau “Electronic Nicotine Delivery Systems (ENDS)” (Trisnowati, et.al., 2022). Karena itu, regulasi terhadap rokok elektrik tidak dapat dipukul rata.
Kedua, produk rokok elektrik yang terbaru seperti “Heat Not Burn Tobacco” (HNBT) sama sekali tidak terkomposisi dari bahan baku rokok, bahkan nikotin. Rokok elektrik ini memainkan peran sebagai nicotine replacement therapy (NRT) yang bertujuan membantu konsumen berhenti merokok dan mengurangi dampak negatif terhadap kesehatan. Produk ini hanya berfungsi seolah-olah sebagai rokok tembakau, bukan produk tembakau (Aminullah, 2019).
Ketiga, sebagai konsekuensi dari transformasi teknologi, semakin berkembang dan maju teknologi, produk rokok elektrik pun akan mengadopsi fitur atau mode baru teknologi. Dengan begitu, ketergantungan terhadap bahan baku rokok juga semakin terkikis dan diproyeksikan akan tergantikan secara total oleh kemajuan teknologi (Aminullah, 2019; Hasni D. & Widati, 2022).
Butuh Regulasi Rokok Elektrik
Konsekuensi logis dari rokok elektrik sebagai hasil transformasi industri ialah regulasinya pun harus dipisahkan dari rokok konvensional. Dengan kata lain, rokok elektrik tidak dapat dipaksakan untuk diatur melalui PP 109/2012. Terdapat beberapa alasan mendasar mengapa rokok elektrik membutuhkan regulasi sendiri.
Pertama, Indonesia adalah negara pasar rokok terbesar kelima di dunia dengan sepertiga penduduknya merokok. Indonesia dan negara-negara Asia lain akan menjadi pasar rokok elektrik paling besar di dunia. Pada 2019, nilai total pasar mencapai 595 miliar dolar dan diproyeksikan akan bertumbuh mencapai 766 miliar dolar pada 2023. Pasar yang demikian besar menuntut regulasi karena menentukan perkembangan produk elektrik dan dampaknya terhadap negara dan masyarakat.
Hingga saat ini, Indonesia masih menyandang status sebagai negara dengan regulasi rokok elektrik terlemah (der Eijk., el.al., 2021). Sudah sejak tahun 2010 sekitar 10.9% warga Indonesia sudah mengetahui keberadaan rokok elektrik di Indonesia, dan yang mendengar 16.8% pria, 5.1% wanita. Dengan demikian, patut disayangkan hingga hari ini pemerintah masih menggunakan PP 109/2012 untuk mengatur rokok elektrik (Putri Pratiwi, 2020).
Kedua, rokok elektrik adalah konsekuensi dari inovasi disruptif, yakni transformasi dramatik di dalam manufaktur, pemasaran dan perilaku konsumen (Christensen, & Raynor, 2003). Secara luas, sebagaimana diingatkan Klaus Schwab (2016), revolusi industri tidak dapat dihindari. Disrupsi digital akan merangsek masuk ke semua lini hidup manusia. Karena itu, tanggapan pemerintah berupa regulasi, meskipun selalu terlambat, sangat diperlukan (2016).
Jika pemerintah tidak merespon dengan tepat dan cepat, dikhawatirkan akan terjadi turbulensi karena banyak kepentingan ikut terseret di dalam arus disrupsi ini. Di dalam teori sistem model dinamis, setidaknya terdapat beberapa aspek penting yang perlu disikapi serius: konsumsi rokok, regulasi, tanggapan publik entah dari kelompok kesehatan entah kelompok konsumen rokok elektrik di Indonesia. Tanggapan pemerintah terhadap rokok elektrik harus holistik karena perubahan pada satu aras sudah pasti akan menyeret aras lain (Aminullah, 2019).
Ketiga, rokok elektrik adalah hasil transformasi industri yang dimotori oleh disrupsi teknologi. Jadi, rokok elektrik bukan produk tembakau. Ia hanya berperan seolah-olah sebagai rokok tembakau. Selain itu, secara medis, daun tembakau baru mengeluarkan racun saat dibakar. Rokok elektrik tidak dibakar sebagaimana rokok konvensional. Bahan baku tembakau pun diproyeksikan tidak dipakai lagi pada versi rokok elektrik terbaru. Karena itu, pengaturan terhadap rokok elektrik harus dipisahkan dari rokok konvensional.
Keempat, terlepas dari bukti data sains meta-analisis yang masih terbelah (4 menyepakati dampak positif rokok elektrik, 2 negatif, 1 inkonklusive (National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine, 2018)), masifnya produksi, pemasaran hingga konsumsi menuntut tanggapan regulatoris yang cepat dan tepat.
Kelima, rokok elektrik bukan satu produk tunggal. Terdapat ratusan jenis dan merek. Kandungan nikotin juga bervariasi, bahkan ada yang tidak bernikotin. Selain itu, kandungan e-liquid dapat dikelabui dengan mislabelling. Karena itu, diperlukan regulasi khusus untuk mengatur secara jelas label dan kandungan di dalam rokok elektrik (Marques, et.al., 2021). Dengan begitu, orisinalitas produk rokok elektrik untuk membantu upaya berhenti merokok dan mengurangi dampak buruk terhadap kesehatan dapat terjamin di Indonesia.