Hampir mustahil menemukan panggung hidup di mana kita tidak membutuhkan teman atau sahabat. Di rumah, seorang suami dapat sekaligus menjadi sahabat untuk istrinya atau anaknya. Di tempat kerja, seorang pekerja tidak mungkin berkarya sendirian tanpa dukungan teman. Di ajang olahraga, setiap atlet selalu memiliki satu atau dua orang teman dekat. Apalagi di kampus, tidak pernah seorang mahasiswa menyelesaikan kuliahnya tanpa dorongan positif dari teman-temannya.
Krusialnya kehadiran sahabat di dalam bilik-bilik hidup kita sebenarnya merupakan artikulasi kodrat sosial kita (social being). Orang Inggris menciptakan sebuah adagium terkenal untuk mengabadikan tendensi kemanusiaan ini: no man is an island (tak ada seorang pun dapat hidup sendirian seperti sebuah pulau yang terbentang sendiri di tengah samudra).
Lantas, apakah persahabatan juga penting di dalam dunia politik? Artikel ini mencoba menggali elan vital persahabatan di dalam domain politik yang dianggap sangat buas.
Persahabatan
Beberapa hari terakhir, koalisi partai-partai pendukung memancarkan sinyal keretakan lantaran ada partai yang melabuhkan dukungan terhadap calon tertentu yang dipandang sebagai antitesis Presiden Joko Widodo. Tensi persaingan pun semakin tinggi. Tak tertinggal kereta, media massa turut memanasi. Saling tukar kata-kata pedas diberitakan dengan bombastis. Gejala politik ini terasa semakin mengukuhkan kebenaran klaim realisme politik: tidak ada kawan dan lawan abadi di dalam politik, selain kepentingan. Adalah utopis dan innocent untuk memiliki sahabat di dalam domain politik. Benarkah demikian?
Untuk memahami kemungkinan persahabatan memainkan peran vital, kita perlu memulai dengan mengungkit makna dasariah persahabatan. Sejak era Yunani klasik, Aristoteles sudah membedakan tiga tipe persahabatan berdasarkan objek atau motivasinya: kesenangan (pleasure), kegunaan (utility), dan kebaikan (good) (Nicomachean Ethics, 1991). Tipe pertama berorientasi pada kenikmatan (hedonisme). Pola ini tidak bertahan karena orang bersahabat sejauh ia mendapatkan nikmat naluriah.
Tipe kedua diramu atas dasar kebermanfaatan tertentu. Seorang mahasiswa mencari sahabat yang cerdas karena ia membutuhkan teman diskusi. Pola ini juga tidak berkanjang karena manfaat cenderung menginstrumentalisasi. Tipe terakhir, persahabatan berdasarkan kebaikan adalah pola relasi yang dibangun semata karena bersahabat mengantarkan orang pada kepenuhan hidup, tujuan tertinggi manusia (Aristotle, Politics, 1932). Seorang sahabat di dalam pola ini menerima pasangannya apa adanya, bukan ada apanya. Pola ini mampu bertahan karena tidak mematok persyaratan apapun.
Persahabatan Politik
Di atas sari-sari persahabatan di atas, apakah mungkin bersahabat di dalam arena politik? Paul Ricoeur menemukan bahwa persahabatan adalah salah satu keutamaan etis. Bagi Ricoeur, etika politik adalah upaya yang “mengarahkan pada hidup baik bersama dan untuk orang lain dalam institusi-institusi yang adil” (Oneself as Another, 1992). Di samping prinsip keadilan yang memoderasi makro-politik, persahabatan memfasilitasi hidup baik bersama dan untuk orang lain. Ada tiga alasan Ricoeur.
Pertama, persahabatan memampukan transisi perjuangan hidup baik dari keutamaan diri sendiri (self-esteem) menuju perjuangan bersama orang lain (solicitude). Setiap orang membutuhkan orang lain untuk mencapai tujuan hidup baiknya. Kedua, persahabatan itu bukan pertama-tama psikologi perasaan, sekadar dorongan instingtual-afeksional. Persahabatan mengejawantah melalui pilihan deliberatif dan bahkan mampu menjadi habitus. Jadi, bersahabat pun memiliki fondasi logikanya.
Ketiga, setiap orang yang berbahagia membutuhkan teman. Aristoteles menggariskan tiga syarat untuk mencapai kebahagiaan: berpartisipasi dalam polis atau berpolitik, berfilsafat, dan aktualisasi diri. Ketiganya harus dipenuhi seluruhnya. Bagi masyarakat Yunani kuno, polis adalah komunitas tertinggi yang bertujuan mencapai kebaikan tertinggi dan dimungkinkan oleh kondisi saling berbagi. Semua hal yang diperlukan untuk mencapai kepenuhan kemanusiaan terdapat di dalam polis (G. Stevens, 2011).
Aktivitas wajib lain adalah berteori atau berfilsafat. Dialektika filsafat pun membutuhkan pasangan. Filsafat bukan meditasi untuk mencapai pencerahan, melainkan pertualangan intelektual untuk mencari kebenaran di dalam trajektori argumentatif-dialogis. Aktualisasi potensi diri seseorang juga hanya dapat terjadi melalui persahabatan dengan orang lain. Aristoteles menjelaskan secara metafisis demikian: relasi kapasitas atau potensi (power) dan realisasi (act) dijembatani oleh “yang lain” karena terdapat ruang ketiadaan atau jurang di antara keduanya (Lorens Bagus, 1991).
Ketiga syarat untuk mencapai kebahagiaan di atas secara bersamaan membutuhkan keberadaan orang lain. Maka, tidak mustahil untuk membangun persahabatan politik.
Politik Persahabatan
Peran vital persahabatan di dalam politik menyingkapkan dua hal. Pertama, kontestasi politik hanya dimungkinkan dengan adanya kawan atau sahabat. Tidak mungkin ada lawan tanpa kawan. Oposisi biner antara lawan-kawan adalah syarat kategoris dalam berpolitik. Harus diingat, makna hanya datang dari kontras. Hanya kalau ada lawan, saya mengenal siapa diri saya dan kawan saya. Kedua, kalau orang tidak mampu memaknai persahabatan dengan baik, sulit untuk membayangkan ia berlaku adil. Tidak mungkin orang dapat memakai prinsip keadilan membangun hidup bersama dengan begitu banyak orang, kalau ia tidak mampu bersahabat dengan segelintir orang.
Persahabatan politik berbeda dengan politik persahabatan. Persahabatan politik optimis bahwa di dalam hutan belantara politik, ada sahabat yang tak lekang oleh waktu. Persahabatan politik bertumpu di atas tujuan kebaikan yang mengatasi segala kepentingan pragmatis. Ia tidak kenal musim. Ia tidak menuntut mahar. Walaupun modus dan instrumen dapat berbeda, tujuannya tetap sama: menghendaki dan memperjuangkan yang terbaik untuk negara dan bangsa (polis).
Adapun politik persahabatan adalah menggadaikan sahabat untuk meraih kursi kekuasaan. Politik persahabatan berkarakter oportunis, pragmatis, dan instrumental. Hari ini boleh menjadi kawan, besok sudah menjadi lawan. Mood politik semacam ini tentu saja sah, tetapi jangan sampai menegasikan potensi persahabatan politik. Sekotor-kotornya manuver politik, selalu ada ketulusan pada aktor tertentu. Nilai ini yang kerap dilupakan. Beberapa bulan terakhir kurva politik Indonesia persis berada di garis krisis persahabatan politik ini.
Indonesia tengah mengalami krisis karena elit politik membarter persahabatan politik dengan politik persahabatan. Padahal, tidak semua dukungan kawan menuntut mahar dan mengharapkan imbal-balik. Mungkin di bawah payung ini kita perlu memaknai persaingan politik menuju Pilpres 2024 agar sayembara politik ini dapat dihelat dengan sejuk, rasional, relasional, bersahabat, dan adil.