Jualan Politik Identitas

Lukas Benevides

Lukas Benevides

Sebagai fenomena sosio-politik, politik identitas sebenarnya sudah begitu tua. Di era Yunani klasik, misalnya, kaum perempuan dan anak-anak dilarang ber-polis. Namun sebagai wacana dan strategi politik layak jual, politik identitas baru memanas pada tahun 1970an, di masa kejayaan sistem demokrasi modern.

Di Indonesia, terminologi politik identitas baru mencuat pada Pilkada DKI 2017 dan mencapai titik ledak pada perhelatan Pilpres 2019. Lembaga Pemilih Indonesia memprediksi dagangan politik identitas akan semakin laris menjelang Pilpres 2024 (republika.co.id, 24/10/2022).

Yang menarik adalah jargon politik identitas di Indonesia berkonotasi negatif. Pemberitaan media yang sensasional hingga artikel-artikel opini melabeli politik identitas sebagai strategi busuk kelompok ekstrimis-agamais. Padahal, pada tahun 1970-an di Eropa dan Amerika politik identitas justru menandai kebangkitan dan perlawanan kelompok-kelompok yang direpresi seperti African American dan Black Feminist (Stanford Encyclopedia of Philosophy, 11/07/2020).

Lantas, apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan konsep politik identitas? Artikel ini berusaha mengelaborasi konsep politik identitas untuk mencegah penyesatan masal.

 

Identitas sebagai penanda mengambang

Hal pertama yang harus menjadi duduk perkara kita adalah konsep identitas. Ada dua makna dasar identitas di dalam bahasa Latin, yakni ipse dan idem (Ricoeur 1992). Idem menjawab soal “what am I?”, sedangkan ipse menjadi “who am I?”. Sederhananya, identitas sebagai ipse menunjuk pada self-constancy (diri yang tidak berubah), sedangkan sebagai idem identitas mencakupi perubahan di dalam kohesi hidup (Simms, 2003).

Dari sini kelihatan, kata identitas tidak jauh dari konsep subjek. Terdapat silang pendapat panjang di balik konsep subjek. Gagasan brilian filsuf dan ilmuwan politik Ernesto Laclau tentang subjek merupakan salah satu tawaran komprehensif yang dapat kita pakai untuk menelisik pertautan subjek dan identitas.

Laclau menolak subjek Pencerahan yang rasional dan transparan terhadap dirinya (Laclau & Mouffe, 2001). Ia mendefinisikan individu sebagai subjek yang dikonstruksi melalui ideologi atau struktur sosial, yakni institusi dan kekuatan sistem sosial, kultural, politik, dan ekonomi yang mengatasi kehendak individu (Laclau, 1977). Posisi struktural ini menentukan peluang hidup individu.

Namun, Laclau tetap yakin kiprah individu tidak semata dideterminasi struktur sosial. Posisi subjek turut memengaruhi, yakni kemampuan individu menafsirkan dan menghidupi struktur sosialnya. Posisi subjek adalah kumpulan nilai atau keyakinan yang melaluinya individu menafsir dan menanggapi posisi strukturalnya di dalam formasi sosial (Marie Smith, 1998).

Laclau dengan demikian, memandang individu memiliki agensi, tetapi sekaligus dililit struktur sosial. Dari tensi antara agensi individu dan struktur sosial inilah Laclau memahami subjek merupakan ‘penanda mengambang’ (floating signifier) yang maknanya selalu terbuka untuk berubah dan dikonstruksi melalui formasi diskursif tertentu.

Jika subjek adalah penanda mengambang atau “penanda kosong” (empty signifier), tidak ada identitas bawaan, eksklusif, homogen, universal murni, dan permanen. Identitas merupakan hasil perjuangan untuk mengisi penanda kosong tersebut. Perjuangan ini yang seharusnya disebut sebagai politik identitas, seni memperebutkan mahkota penanda mengambang yang berkarakter universal hegemonik (Laclau, et. Al., 2000).

 

Formasi hegemonik dan discursive

Di dalam konsepsi Laclau, adu strategi untuk mengisi penanda mengambang disebut formasi hegemonik. Identitas adalah produk discursive melalui formasi hegemonik. Ada tiga hal penting di sini.

Pertama, discursive berbeda dengan discourse. Discourse adalah keseluruhan hasil polesan artikulatoris terhadap fakta atau fenomena yang masih berserakan tanpa arah dan hubungan satu sama lain. Sementara itu, discursive ialah keseluruhan discourse yang kemudian menjadi horizon teoritis untuk mentransformasi fragmen-fragmen kenyataan (existence) sebagai data yang bermakna (being).

Kedua, bagi Laclau, yang menjadikan segala sesuatu (existence) memiliki makna (being) adalah discursive. Jika existence adalah ada sebagai ada (ontologis), being adalah ada yang sudah mendapat bubuhan pemaknaan sosial. Dalam rumusan lain, being adalah kenyataan yang diciptakan secara sosial dan terus-menerus melalui discursive (Martin, 2013).

Sebagai contoh atas dua poin di atas, sebutan ‘jelek’ seorang siswa terhadap teman sekelasnya yang difabel adalah fenomena mentah yang mudah terjadi di antara anak-anak remaja sebaya. Meskipun tidak etis, kasus ini tidak menimbulkan ledakan besar. Ini yang disebut existence. Fenomena ini akan menjadi isu politik yang bombastis ketika diviralkan ke media sosial dan ditanggapi oleh berbagai pihak dengan perspektif berbeda. Saling adu argumentasi ini adalah discourse yang memberikan predikat being atas fenomena telanjang di atas.

Gayung bersambut, saling berkomentar biasa di media sosial berlanjut ke kampanye politik yang merembes ke berbagai sektor. Pemerintah lantas mendorong berbagai perilaku ramah difabel dan program pengembangan kapabilitas kaum difabel. Di sini, discourse telah bertransformasi menjadi discursive. Isu disabilitas bermain sebagai skema paradigmatis pemerintahan yang mendikte semua ritme aktivitas masyarakat.

Ketiga, pemaknaan sosial atas identitas terjadi melalui praksis politik yang Laclau sebut formasi hegemonik. Formasi hegemonik menghasilkan blok kontingen melalui logika ekuivalensi dan logika pembedaan (Laclau & Mouffe, 1985). Sederhananya, pola kerja logika ekuivalensi adalah merapatkan barisan setiap pihak yang berbeda, tanpa masing-masing kehilangan keasalian misi utamanya, di atas satu tujuan bersama untuk menghadapi ‘lawan bersama’.

Namun semen perekat logika bersama ini selalu berubah-ubah karena elemen penyusunnya memang selalu labil. Setiap saat ‘aliansi’ ini dapat dibubarkan oleh logika pembedaan. Ketika sebuah perjuangan mencapai kemenangan, musuh bersama akan berubah. Struktur kubu perjuangan pun terseret.

Jika tujuan mendongkrak kemampuan kelompok disabilitas tercapai, isu difabel bubar. Formasi hegemonik melalui sayembara diskursus akan menciptakan isu baru (being) atas fenomena lain (existence), misalnya kalangan korban pelecehan seksual, sebagai basis politik untuk menjerat para pelaku dan memulihkan para korban.

Sampai di sini kita paham, identitas adalah hasil konstruksi diskursus formasi sosial, bukan kenyataan seadanya. Itu artinya, tidak ada politik identitas yang melulu instrumentalisasi agama. Semua fakta dapat didiskursuskan sebagai basis untuk berpolitik identitas. Yang menjadikan fenomena tertentu sebagai identitas adalah pertarungan diskursus. Pemenangnya adalah penentu isi sebuah identitas. Hingga hari ini hanya kelompok tertentu yang mendapat cap politik identitas di Indonesia adalah bukti bahwa lawannya selama ini menguasai panggung diskursus politik, bukan faktanya memang demikian.

Pilpres 2024 semakin mendidih lantaran saling tuduh sebagai pengusung politik identitas merajalela. Tidak sedikit yang secara sempit memahami politik identitas dan melabeli kelompok tertentu mengusung agenda agama. Sayangnya, tuduhannya sendiri menggunakan isu agama. Pepatah tua negeri kita mungkin benar: ketika satu jari Anda menunjuk orang lain, ingatlah bahwa keempat jarimu yang lain sedang mengarah pada dirimu sendiri.

WhatsApp
Facebook
Twitter